BERITA - bali-nusa-tenggara.infogue.com -
Laporan Wartawati Pos Kupang Adiana Ahmad
KAUM bangsawan Sumba mempunyai tradisi untuk menyimpan mayat bertahun-tahun di rumah adat. Agar mayat tetap awet membutuhkan pangawet. Dewasa ini kebanyakan orang menggunakan zat pengawet kimia atau formalin. Bagi orang Sumba, formalin hanya merupakan tambahan dan baru dikenal dalam satu dasawarsa terakhir. Apa rahasia menyimpan mayat bertahun-tahun agar tidak bau?
Pos Kupang mencoba menggali rahasia para leluhur Sumba tersebut dari Ny. Rambu Ana Pura Woha. Menurut Rambu Ana, sebelum mengenal formalin, orang Sumba
biasa menggunakan metode pengawetan tradisional. Pengawetan tradisonal
itu bermacam-macam. Ada yang menggunakan kapur sirih dicampur tembakau
atau daun teh. Tetapi, yang sering digunakan adalah kapur sirih dan
tembakau. Untuk lebih bertahan lama, mayat ditambah daun bidara atau dalam bahasa setempat disebut daun kom. Ada juga yang hanya menyelimuti mayat dengan ratusan lembar kain adat. Menurut beberapa tokoh adat Sumba, kain adat Sumba yang menggunakan zat pewarna asli dari tumbuh-tumbuhan sudah mengandung pengawet alami. Jadi, bau mayat akan terserap oleh kain yang dibungkuskan pada jenazah.
Untuk
pengawetan metode pertama, jelas Rambu Ana, dilakukan dengan cara
menyiram kapur sirih di atas kain yang digunakan sebagai alas mayat atau pembungkus mayat.
Setelah kain pertama yang ditabur kapur sirih dan tembakau, dilapisi
lagi kain kedua. Kapur sirih dan tembakau ini yang akan menyerap bau,
bahkan membuat jenazah kering. Setelah dibaringkan di atas lapisan yang
ditabur kapur sirih, pusar jenazah ditutupi dengan cairan daun kom atau
bidara yang sudah dikunyah.
Tidak sembarang orang bisa mengunyah
daun kom yang akan ditaruh di pusar jenazah. Jika yang meninggal adalah
lelaki tua, maka daun kom harus diambil dan dikunyah oleh perempuan
muda. Cara mengambil daun kom juga menggunakan mulut seperti kambing.
Daun kom itu dikunyah sampai halus dan diletakan di pusar jenazah.
Demikian juga sebaliknya jika yang meninggal perempuan tua, maka yang
mengambil dan mengunyah daun kom atau bidara adalah lelaki muda.
Bagaimana
jika yang meninggal adalah lelaki muda atau perempuan muda? Rambu Ana
mengatakan, yang mengambil dan mengunyah daun kom adalah lelaki atau
perempuan tua. Daun kom ini, jelas Rambu Ana, mampu mengempiskan perut
jenazah atau mayat.
Rambu Ana mengatakan, secara logika memang tidak ada hubungannya.
Namun, pengalaman telah membuktikan metode tersebut berhasil.
Cara itu selama ini sering digunakan untuk mengawetkan mayat.
Jika ingin awet lebih lama, bisa juga ditambahkan dengan air garam dan
cuka nira. Caranya, rebus cuka nira, campur dengan garam
sebanyak-banyaknya setelah itu diminumkan ke mayat dengan cara mengangkat kepala jenazah kemudian menuangkan air cuka campur garam ke dalam mulut mayat,
kepala jenazah dibaringkan lagi. Ini dilakukan berulang-ulang hingga
satu gelas air cuka campur garam habis. Namun sebelum air garam cuka
diminumkan ke jenazah, jenazah harus dalam keadaan bersih. Yang dimaksud
bersih, katanya, seluruh kotoran yang ada dalam perut jenazah harus
dikeluarkan semua. Cara ini ternyata mampu untuk mengawetkan jenazah.
Rambu
Ana mengatakan, tidak semua orang menggunakan cara ini karena saat ini
lebih mudah menggunakan formalin yang mudah didapatkan di apotek.
Beberapa tokoh masyarakat Sumba, di nya, Umbu Mbani Awang, mengatakan, selain dengan kapur sirih dan tembakau, pengawetan mayat bisa dilakukan dengan tepung kopi. Caranya sama seperti kapur sirih dan tembakau.
Untuk mayat almarhum Bupati Sumba
Timur, Ir. Umbu Mehang Kunda, memang menggunakan formalin. Perlakuan
terhadap jenazah almarhum ketika penguburan juga akan berbeda mengingat
almarhum sudah menganut Kristen Protestan yang taat.
Jika bangsawan Sumba
yang masih menganut kepercayaan merapu, jelas Umbu Mbani Awang, selama
disemayamkan sampai dikuburkan, jenazah dibuat seperti orang duduk atau
posisi seperti saat dalam kandungan atau rahim. Jenazah tersebut
kemudian disandarkan di tiang mayat yang ada di Uma Bokul atau rumah mayat. Posisi mayat dalam kubur juga, seperti posisi ketika dalam rahim. Jadi mayat bukan dibaringkan, tetapi dalam posisi duduk.
Jenazah
Ir. Umbu Mehang Kunda telah dimasukkan dalam peti jenazah pada Rabu
(6/8) sekitar pukul 03.00 Wita. Beberapa orang yang ditemui mengaku,
pengisian jenazah ke dalam peti selama ini memang dilakukan pukul 03.00
Wita sampai pukul 05.00 Wita.
Salah seorang kerabat almarhum, mengatakan, tradisi ini sebenarnya bukan tradisi murni orang Sumba karena orang asli Sumba yang menganut kepercayaan marapu, mayatnya
tidak pernah dimasukkan dalam peti. Tradisi ini, katanya sebenarnya
tradisi dari luar. Apa artinya, ia sendiri mengaku tidak tahu.
0 komentar:
Posting Komentar